Harga Diri dari Bersepeda

Harga Diri dari Bersepeda

“Sefin mau yang ada keranjang dan belnya.” Ia terlihat serius.
Saya tersenyum. Untuk ulang tahunnya yang kelima, putri sulung saya meminta sepeda. Itulah mengapa di Minggu pagi ini, kami sekeluarga sudah berada di sebuah pasar modern. The birthday girl sedang berdiri di depan sepeda pink beroda empat dan berkeranjang putih.
“Kamu mau yang ini?” Tanya saya.
Dia mengangguk cepat.

Hari-harinya kemudian diisi dengan bersepeda keliling blok perumahan kami. Usai pulang sekolah, dia berganti baju, lalu melesat keluar. “Kring kring…. Kring kring….” Bel sepeda ditekannya berkali-kali. Senyumnya lebar. Selly, si boneka beruang putih, duduk di keranjang depan dengan kepala terangguk-angguk.

Pada suatu Minggu sore, Sefin mendekati saya yang sedang bekerja di depan laptop.
“Pi, roda duanya dilepas aja,” katanya perlahan.
Saya berhenti dan menoleh. “Kenapa?”
“Pengen aja,” jawabnya.
Saya terdiam. Saya tahu dia menyimpan sesuatu.
“Benar nih karena pengen aja?”
“..….”
“Berkata jujur itu baik, lho,” pancing saya.

“Nggg…. Sefin malu diledekin teman-teman,” akunya. “Mereka bilang masak sepedanya masih roda empat. Kayak anak kecil.”
Oh, itu sebabnya, kata saya dalam hati.
“Nggak apa-apa, Sefin. Kan kamu baru belajar,” saya mencoba menenangkan. “Kalau rajin latihan, kamu pasti bisa naik sepeda roda dua.”

“Tapi Sefin maunya sekarang saja!” Nada suaranya meninggi.
Saya menghela napas. “Oke. Papi akan ajarin. Tunggu sebentar, ya.” Saya mengambil kunci pas, kemudian mencopot kedua roda bantu sepedanya. “Ayo, kita coba,” ajak saya.

Ternyata, mengajari anak mengendarai sepeda roda dua menuntut stamina yang tinggi dan punggung yang kuat. Sementara dia mengayuh, saya harus setengah membungkuk sambil memegang badannya supaya tidak jatuh. Sesekali saya coba lepas, tapi langsung saja keseimbangannya goyah. Saya pun harus memegangnya lagi.

Kami melewati segerombolan anak yang bermain bola di tengah jalan.
“Sefin belum bisa naik roda dua ya, Om?’ tanya anak laki-laki yang menjadi kiper.
“Belum. Sefin baru belajar,” jawab saya sambil tersenyum.
Kami melanjutkan bersepeda, dan sempat mendengar seorang anak berkata, “Ih, masih dipegangin papanya….”
Saya melirik Sefin. Dia cemberut. Saya memutar sepeda, dan mengarahkannya ke rumah. “Pulang, yuk. Sudah sore.”

Minggu depannya, kami mengulang rutinitas yang sama. Baru saja hendak berangkat, ibu sebelah rumah yang sedang membeli sayur bertanya, “Sefin baru belajar naik sepeda, ya, Pak?”
“Iya, Bu,” jawab saya singkat. “Mari, Bu.”
Saya mendorong Sefin dan mengisyaratkannya untuk mulai mengayuh.
“Kita ke Nirwana saja, ya,” ajak saya. Blok Nirwana cukup luas dan terletak di seberang blok kami.
“Kenapa?” tanyanya.
“Enak, lebih sepi. Belajarnya lebih nyaman.”

Namun, yang kemudian saya sadari adalah sebenarnya saya cuma menutupi rasa malu saya. Saya menghindari orang. Harga diri saya terluka mendengar orang berkata Sefin belum bisa naik sepeda roda dua. Alih-alih menguatkan harga dirinya, saya malah melemahkan harga diri saya dan anak saya.

Selama hari kerja, saya mencari tahu di internet bagaimana mengajarkan anak belajar sepeda. Ternyata ada cara yang cukup mudah. Untuk mereka yang baru belajar, disarankan melepas pedal sepeda. Hal ini bertujuan agar anak terbiasa dengan keseimbangan. Langkah pertama adalah membiarkan anak mendorong sepeda dengan kakinya. Kalau semakin cepat, dia bisa perlahan menaikkan kedua kakinya.

Ketika saat latihan tiba, saya deg-degan. Sefin sudah duduk di atas sepeda yang sekarang tanpa pedal. Saya bilang ke dia seperti instruksi yang saya baca di internet.
Kedua kakinya menjejak tanah dan mendorong maju. Dan meluncurlah dia.
Pikiran saya dipenuhi berbagai kemungkinan. Bagaimana kalau dia jatuh? Bagaimana kalau dia menabrak anak lain? Sekuat mungkin saya tepis suara-suara itu.

“Pi, lihat! LIHAAATTT!”
Saya menoleh ke arah belokan. Dihiasi senyum paling lebar, anak sulung saya itu sudah bisa meluncur dengan kedua kaki terangkat.
Saya tersenyum. Bangga. Dan saya tahu dia akan baik-baik saja.

Bagi orangtua, tidak ada yang lebih membahagiakan daripada melihat anaknya tumbuh karena kemampuannya sendiri.

Saya sibuk mencari jalan untuk melindungi harga diri saya. Namun, dengan begini, saya lupa telah menghalangi pencarian Sefin akan harga dirinya sendiri. Seorang anak yang sedang belajar bersepeda. Seorang anak yang pasti bisa belajar bersepeda.

Harga diri dia tumbuh ketika berhasil menaiki sepeda tanpa roda bantuan.

Ternyata, apa yang saya pikirkan dan lakukan selaras dengan penjelasan Adhitya Mulya di buku terbarunya Parent’s Stories. Adhit menjelaskan cara mengajarkan anak agar tahu bahwa harga diri tidak datang dari kepemilikan barang atau penilaian orang lain. Anak lah yang menentukan harga diri mereka. Tentu dengan dibantu orangtua. Adhit juga membahas bagaimana terkadang orangtua lupa bahwa cara terbaik menumbuhkan harga diri dan kebanggaan anak adalah dengan membiarkannya mencapai kemenangan sendiri.

Saya sepakat dengan tulisan Adhit. Harga diri itu ditumbuhkan, bukan didapat secara instan melalui kepemilikan barang. Harga diri anak berasal adalah keberhasilan dia untuk menyelesaikan tantangan. Adalah tugas orangtua menciptakan kesempatan dan ruang belajar yang luas untuk anak menyelesaikan tantangan tersebut

Parent’s Stories juga menceritakan pengalaman Adhitya Mulya membuat anak-anaknya berdaya dan mampu mengatasi tantangan di masa depan. Dari cara mengajarkan anak nilai-nilai kehidupan, sampai menjadi mentor untuk mereka.

Buku ini sekarang menjadi salah satu sumber referensi saya dan istri dalam membesarkan anak-anak—anak yang mampu memutuskan langkah mana yang harus diambil untuk mencapai kemenangan. Dan saya yakin, Parent’s Stories juga bisa menjadi rujukan yang tepat bagi para orangtua untuk membesarkan anak yang berdaya.

*Jeffri Fernando